KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberi nikmat, taufik, hidayah serta inayah sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan judul “Manusia,
Moralitas, dan Hukum” dengan tiada halangan suatu apa pun.
Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1.
Bapak H. Hadi Maryono sebagai dosen
pembimbing mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
2.
Teman-teman dari kelas Pendidikan Sains
B 2010 serta semua pihak yang telah membantu kami.
Penulis
telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya, namun mungkin masih ada kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak.
Akhirnya
dengan tersusunnya makalah ini, semoga ada guna dan manfaatnya, khususnya di
dunia pendidikan dan masyarakat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi dan
memberkahi hidup dan perjuangan kita, Amin.
Surabaya, 12
Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................................................... ii
Daftar Isi................................................................................................................................. iii
Bab I. PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................. 2
C. Tujuan.................................................................................................................... 2
D. Manfaat................................................................................................................. 2
Bab II. PEMBAHASAN....................................................................................................... 3
A. PENTINGNYA MORAL
DAN HUKUM.......................................................... 3
B. MORAL SEBAGAI SUMBER BUDAYA DAN
KEBUDAYAAN ............... 4
C. NILAI, NORMA, ETIKA, DAN MORAL DALAM HIDUP
BERMASYARAKAT ......................................................................................... 6
C.1. Nilai Norma................................................................................................... 6
C.2. Nilai Etika...................................................................................................... 9
C.3. Nilai Moral..................................................................................................... 9
D. PENTINGNYA MORALITAS DAN PELAKSANAAN HUKUM
SERTA HAMBATAN-HAMBATANNYA...................................................... 12
D.1. Penting Moralitas......................................................................................... 12
D.2. Pelaksanaan Hukum serta
Hambatan-Hambatannya................................... 14
Bab III. PENUTUP.............................................................................................................. 20
A. Kesimpulan.......................................................................................................... 20
B. Saran.................................................................................................................... 20
Evaluasi.................................................................................................................................. 21
Kunci Jawaban....................................................................................................................... 21
Daftar Pustaka......................................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hakikatnya
manusia adalah makhluk moral. Untuk menjadi makhluk sosial yang memiiki
kepribadian baik serta bermoral tidak secara otomatis, perlu suatu usaha yang
disebut pendidikan. Menurut pandangan humanisme manusia memiliki kemampuan
untuk mengarahkan dirinya ketujuan yang positif dan rasional. Manusia dapat
mengarahkan, mengatur, dan mengontrol dirinya. Menurut Ki Hajar Dewantara,
pendidikan ialah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan
batin), pikiran (intelek), dan jasmani (Slamet Sutrisno, 1983, 26). Perkembangan
kepribadian seseorang tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial budaya tempat
tumbuh dan berkembangnya seseorang (cultural
backround of personality).
Setiap
orang pasti akan selalu berusaha agar segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi
dengan baik sehingga dapat mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Kebutuhan
hidup manusia selain ada kesamaan juga terdapat banyak perbedaan bahkan
bertentangan antara satu dengan yang lain. Agar dalam usaha atau perjuangan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak terjadi tabrakan antara yang satu
dengan yang lain dalam masyarakat, maka diperlukan adanya suatu aturan, norma
atau kaidah yang harus dipatuhi oleh segenap warga masyarakat. Oleh sebab itu
di negara Indonesia, kehidupan manusia dalam bermasyarakat diatur oleh hukum
juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta
kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi
oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan
kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi.
Di
Indonesia sendiri, penegakan hukum selalu menjadi suatu kewajiban yang mutlak
harus diadakan dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kewajiban
tersebut bukan hanya dibebankan pada petugas resmi yang telah ditunjuk dan
diangkat oleh Pemerintah akan tetapi adalah juga merupakan kewajiban dari pada
seluruh warga masyarakat. Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa kadang-kadang
terdapat noda hitam dalam praktek penegakan hukum yang perlu untuk dibersihkan
sehingga hukum dan keadilan benar-benar dapat ditegakkan. Sebagai salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem
ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyelesaian berbagai
permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui tidak dapat
dilakukan dalam waktu singkat.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
hukum dan moralitas itu penting dalam kehidupan bermasyarakat?
2. Bagaimana
moral sebagai sumber kebudayaan?
3. Bagaimana
hubungan norma, etika, dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat?
4. Bagaimana
pelaksanaan hukum di Indonesia?
5. Apa
saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pentingnya hukum dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Mengetahui
bagaimana moral dikatakan sebagai sumber kebudayaan.
3. Mengetahui
hubungan norma, etika, dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Mengetahui
pelaksanaan hukum di Indonesia.
5. Mengetahui
apa saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia.
D.
Manfaat
1. Agar generasi muda sekarang tidak hanya cerdas
namun juga memiliki moral yang baik sehingga ilmu yang dimilikinya dapat
disumbangkan untuk kemajuan bangsa dan budaya Indonesia.
2. Mendidik
generasi muda untuk menjadi manusia yang taat dengan nilai dan norma-norma yang
berlaku di negara Indonesia.
3. Mendidik
generasi muda terutama mahasiswa dan mahasiswi UNESA untuk sadar hukum. Dimana
sebagai generasi muda mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia
dan mampu mengatasi hambatan-hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENTINGNYA MORAL DAN HUKUM
Manusia dan hukum adalah dua identitas
yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang
terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ
ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur
sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat
sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan
yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.Untuk mewujudkan
keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan
(organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial
(social order) yang bernama
masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial
masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang
terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan).
Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat
sekali. Nilai dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus semakin
diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Moralitas
diidentikan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk(etika) yang mana cara
mengukurannya adalah melalui nilai- nilai yang terkandung dalam perbuatan
tersebut.
Pada dasarnya nilai, moral, dan
hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan
demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada
permaslahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian
manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”
Selain itu fungsi dari nilai, moral
dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pentingnya
system hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah
dilindungi agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan karena belum cukup
kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan-kepentingan
yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah
dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah system hukum.
K. Bertens menyatakan ada
setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum
lebih dibukukan daripada moral), kedua,
meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri
pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin
seseorang, ketiga, sanksi yang
berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak
masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan
pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
B.
NILAI MORAL SEBAGAI SUMBER BUDAYA DAN KEBUDAYAAN
1.
Nilai dan Sistem Budaya
Kehidupan manusia dalam masyarakat,
baik secara pribadi atau individu maupun kelompok, seantiasa berhubungan dengan nilai-nilai, moral, dan norma.
Nilai-nilai, norma, dan moral tersebut berfungsi memberi motivasi dan arahan
bagi seluruh anggota masyarakat dalam bersikap, berbuat, dan bertingkah laku.
Nilai atau value berasal dari kata valere yang berarti : kuat, baik, berharga
(Bambang Daroeso, 1983,26). Sesuatu dikatakan bernilai , artinya sesuatu itu
mempunyai hal yang berharga, berguna, indah yang memperkaya batin, yang
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai-nilai atau sistem nilai
yag telah menjadi milk bersama masyarakat akan dapat berfungsi sebagai perekat
bagi masyarakat, bahkan dijadikan pedoman bagi seluruh anggota masyarakat.
Nilai bersumber pada budi pekerti,
oleh karena itu nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan
yang bersifat abstrak. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam pikiran sebagian besar atau seluruh warga masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap baik, paling benar, amat bernilai dalam hidup.
Oleh karena itu sistem nilai budaya biasanya dijadikan pedoman tertinggi bagi
seluruh anggota masyarakat. Sistem-sistem tata kelakuan manusia dari sifatnya
lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma lain,
semuanya bersumber pada sistem nilai budaya tersebut (Koentjaraningrat,
1994,25). Nilai-nilai budaya tersebut telah mempribadi pada anggota masyarakat
sehingga sulit diganti atau diubah. Sistem nilai budaya merupakan wujud riil
dari kebudayaan, dan setiap masyarakat atau bangsa memilii sistem nilai budaya
sendiri yang membentuk kepribadian bangsa, oleh karena itu Pancasila sebagai
kepribadian bangsa bersifat unik, khas, atau khusus.
2.
Membangun Kebudayaan Nasional, Nilai-nilai Budaya
Positif dan Nilai-nilai Budaya Negatif.
Bagi banga Indonesia, berbagai
persoalan dalam negeri yang berjalan bebarengan dengan munculnya fenomena
globalisasi seolah- olah menghentakan kesadaran nasional untuk memperteguh
identitas nasionalnya, tanpa harus menjadi ekslusif. Penyegaran identitas
nasional berarti mengungkapkan unsur-unsur positif yang dimiliki bangsa
Indonesia di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa. Nilai- nilai tradisional
yang dapat mendorong pembangunan nasional antara lain :
·
Berorientasi
vertikal kearah atasan (Pimpinan, tokoh masyarakat), aspek positif dari nilai
budaya ini ialah dapat memudahkan taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi
dalam usaha pembangunan dengan cara memberi contoh tauladan, misalanya hidup
hemat dan sederhana, mentaati hukum, serta disiplin.
·
Nilai budaya
sifat tahan menderita dan keuletan.
·
Nilai budaya
bahwa manusia wajib terus berikhtiyar atau berusaha dan berjuang.
·
Nilai budaya
sikap toleran terhadap pendirian atau keyakinan yang lain.
·
Nilai budaya
yang berupa semangat dan jiwa gotong-royong serta rasa solidaritas.
(Koentjoroningrat, 1994,69-71).
Sikap mental bangsa Indonesia yang
dapat menghambat pembangunan nasional (nilai-nilai budaya negatif). Dalsm
rangka mempercepat proses pembangunan nasional diseluruh bidang kehidupan
bangsa apalagi setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi yang
berkepanjangan, maka kita harus berusaha keras memberantas sikap buruk yang
masih melekat dalam diri kita masing-masing pada khususnya dan dalam
kepribadian bangsa Indonesia pada umumnya. Sikap mental negatif yang dapat menghambat
pembangunan nasional antara lain :
·
Sifat mentalitas yang meremehkan
mutu.
·
Sifat mentalitas yang suka
menerabas
·
Sifat tak percaya diri sendiri.
·
Sifat tak berdisiplin murni.
·
Sifat mentalitas yang suka
mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. (Koentjoroningrat, 1994, 45)
Di
masyarakat, warga masyarakat apapun profesi/ kegiatannya harus mendapatkan
bimbingan dan kalau perlu diberi modal agar dapat menghasilkan produk yang
bermutu dan sekaligus menumbuhkan kembangnya rasa percaya diri.
Sifat
mental yang tidak disiplin masih merupakan aspek negatif dari kepribadian
bangsa Indonesia yang harus segera diberantas karena dapat menghambat segala
usaha pembangunan serta merusak citra bangsa. Cara yang dapat ditempuh antara
lain:
·
Mulai dari masa anak-anak dibiasakan
hidup tertip, mematuhi peraturan.
·
Para pemimpin harus memberi
contoh untuk bersikap desiplin.
·
Hukum benar-benar ditegakkan
tanpa pandang bulu.
·
Menghilangkan sikap disiplin semu
(berpura-pura) dikalangan masyarakat.
Sifat tidak bertanggung jawab dikalangan
masyarakat bangsa Indonesia masih cukup tinggi. Hal ini dapat kita lihat
gejalanya antara lain:
·
Kebiasaan suka melempar kesalahan
diri dari pihak lain (mencari kambing hitam)
·
Suka mengingkari janji/ tidak
menepati janji yang ditetapkan atau disanggupi.
·
Suka mengentengkan masalah,
meskipun menyangkut perasalahan yang penting.
Sifat buruk masyarakat ini harus
diberantas dan dicegah jangn sampai berkembang khususnya dikalangan anak-anak
dan remaja/ pemuda. Dan sudah barang tentu lewat proses pendidikan.
3.
Aspek Subyektif dan Obyektif Kebudayaan
·
Aspek Subyektif
kebudayaan ialah pribadi-pribadi manusia sebagai pencipta kebudayaan, taraf
perkembangan budaya para anggota masyarakat.
·
Aspek Obyektif
kebudayaan meliputi segala hasil cipta karsa, rasa, dan karsa manusia baik
kebudayaan yang bersifat maeri maupun kebudayaan yag bersifat non materi, hasil
perkembangan budaya manusia (Djojodiegoeno, 1961,26)
Baik
buruknya kebudayaan tergantung pada faktor manusia (subjek) yang menciptakan
kebudayaan dan sekaligus sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan. Agar
dapat dihasilkan kebudayaan haruslah merupakan sumber daya manusia yang
berkualitas serta memiliki nilai-nilai moral yang tinggi.
C.
NILAI NORMA, ETIKA, DAN MORAL DALAM HIDUP BERMASYARAKAT
C.1. Nilai Norma
Setiap
orang pasti akan selalu berusaha agar segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi
dengan baik sehingga dapat mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Kebutuhan
hidup manusia selain ada kesamaan juga terdapat banyak perbedaan bahkan
bertentangan antara satu dengan yang lain. Agar dalam usaha atau perjuangan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak terjadi tabrakan antara yang satu
dengan yang lain dalam masyarakat, maka diperlukan adanya suatu aturan, norma
atau kaidah yang harus dipatuhi oleh segenap warga masyarakat. Pengetian dari
norma itu sendiri adalah ketentuan yang berisi perintah-perintah atau
larangan-larangan yang harus dipatuhi warga masyarakat demi terwujudnya
nilai-nilai.
Norma
merupakan suatu aturan-aturan yang berisi perintah, larangan, dan sanksi-sanksi
bagi yang melanggarnya. Pada dasarnya norma merupakan nilai, tetapi disertai
dengan sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Norma merupakan aturan-aturan
dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong bahkan menekan
perorangan, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai
nilai-nilai sosial.
Secara
umum kita dapat membedakan norma menjadi dua norma yaitu: norma khusus dan
norma umum.
a.
Norma Khusus adalah aturan yang berlaku
dalam kegiatan atau kehidupan khusus, misalnya aturan olahraga, aturan
pendidikan, atau aturan sekolah dan sebagainya.
b.
Norma Umum adalah norma yang bersifat
umum atau universal.
Didalam kehidupan
masyarakat terdapat norma-norma (aturan-aturan) yang mengatur perilaku anggota
masyarakat, yaitu sebagai berikut.
1.
Norma
Agama
Norma agama bersumber dari ajaran agama.
Nilai-nilai yang bersumber dari ajaran gama bersifal absolut karena berasal
dari Tuhan. Agama adalah suatu keyakinan yang kebenarannya bersifat mutlak,
tidak tergantung pada cara berfikir dan cara merasa manusia. Ajaran agama
berisi perintah, larangan dan kebolehan yang disampaikan kepada umat manusia
melalui Malaikat dan Rasul-Nya. Sanksi dari norma agama berupa siksa di akhirat
kelak. Contoh dari moral agama adalah beribadah, dilarang berbohong, harus
berbakti pada orang tua, dan lain-lain.
2.
Norma
Kesusilaan
Adalah aturan hidup yang bersumber dari
suara hati manusia tentang mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan tidak
baik. Norma kesusilaan mendorong manusia untuk memiliki akhlak mulia, dan
sebaliknya bagi manusia yang melanggar norma kesusilaan dapat menyeret manusia
melakukan perbuatan yang nista. Sanksi terhadap norma kesusilaan berupa rasa
penyesalan diri. Contohnya adalah berlaku jujur, berbuat baik terhadap sesama, dan
lain-lain.
3.
Norma
Kesopanan
Adalah aturan hidup bermasyarakat yang
landasannya berupa kepatutan, kepantasan serta kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Horma kesopanan sering disebut juga dengan tata krama. Norma
kesopanan ditunjukkan kepada sikap lahiriah setiap anggota masyarakat emi
ketertiban dan suasana keakraban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sanksi
bagi yang melanggar adalah celaan dari masyarakat. Contohnya adalah maka tidak
boleh sambil bicara, orang muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan
lain-lain
4.
Norma
Hukum
Norma hukum adalah seperangkat peraturan yang dibuat
oleh negara atau badan yang berwenang.norma hukum berisi perintah negara yang
dilaksanakan dan larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga
negara.sifat dari norma ini adalah tegas dan memaksa.
Sifat ”memaksa” dengan sanksinya yang tegas inilah yang merupakan
kelebihan dari norma hukum,jika dibandingkan dengan norma-norma yang
lainnya.demi tegaknya hukum,negara mempunyai lembaga beserta aparat-apratnya di
bidang penegakan hukum seperti polisi,jaksa,dan hakim.bila seseorang melanggar
hukum,ia akan menerima sanksinya berupa hukuman misalnya hukuman
mati,penjara,kurungan,dan denda. Contohnya adalah
mematuhi rambu lalu lintas, dilarang membunuh, dan lain-lain.
C.1.1. Hubungan Antar-Norma
Kehidupan
manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh
norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya.
Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat
di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial
lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah sosial mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak mengaturnya. Selain saling mengisi,
juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya “kamu tidak boleh
membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama, kesusilaan, dan
adat juga berisi suruhan yang sama.
Dengan
demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada larangan
untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”,
“penipuan”, dan lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama,
kesusilaan, kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan
karena masing-masing memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati
(insan kamil). Norma kesopanan sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan
dan norma hukum sumbernya peraturan perundang – undangan.
Fungsi
norma sosial di dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebagai pedoman hidup yang
berlaku bagi semua anggota masyarakat pada wilayah tertentu; memberikan
stabilitas dan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat; mengikat warga
masyarakat, karena norma disertai dengan sanksi dan aturan yang tegas bagi para
pelanggarnya; menciptakan kondisi dan suasana yang tertib dalam masyarakat; dan
adanya sanksi yang tegas akan memberikan efek jera kepada para pelanggarnya,
sehingga tidak ingin mengulangi perbuatannya melanggar norma.
Berdasarkan kekuataan daya pengikatnya,norma-norma
sosial dibagi menjadi tata cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan
(mores), adat-istiadat(customs), dan hukum (laws).
a.
Tata cara
(usage)
Proses interaksi yang terus-menerus akan melahirkan
pola-pola tertentu yang dinamakan tata cara(usage). Tata cara merupakan
norma yang menunjukan pada suatu bentuk perbuatan dengan sanksinya ringan
terhadap pelanggarnya dibandingkan norma lainnya. Misalnya, pada waktu makan
bersendawa atau mendecak, tidak mencuci tangan sebelum makan. Pelanggaran
terhadap norma ini tidak akan mengakibatkan sanksi berat, melainkan hanya
sekedar celaan atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
b.
Kebiasaan
(folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam
bentuk yang sama. Kebiasaan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada
tata cara, misalnya memberikan salam pada waktu bertemu, membungkukan badan
sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih tua. Sanksinya yang
akan diterima bagi pelanggarannya dapat berupa teguran, sindiran, digunjingkan,
dan dicemooh.
c.
Tata
Kelakuan (mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber pada
ajaran agama, filsafat, nilai kebudayaan atau ideologi yang dianut oleh
masyarakat. Tata kelakuan adalah aturan yang berlandaskan pada apa yang baik
dan seharusnya dilakukan manusia. Apabila orang melanggar kebiasaan akan
dianggap aneh, tetapi kalau melanggar tata kelakuan akan disebut jahat.
Contohnya adalah larangan berzinah, berjudi, minum-minuman keras ,penggunaan
narkoba. Pelanggaran terhadap tata kelakuan ini mengakibatkan sanksi yang
berat, misalnya diusir dari kampungnya sehingga mores juga disebut norma berat.
d.
Adat –
Istiadat (customs)
Adat istiadat merupakan norma yang tidak
tertulis namun sangat kuat mengikatnya sehingga anggota-anggota masyarakat yang
melanggar adat-istiadat akan menderita yang kadang-kadang secara tidak langsung
dikenakan. Contohnya adat istiadat yang berlaku di masyarakat lampung, seorang
suami tidak boleh menceraikan istrinya apabila terjadi perceraian maka tidak
hanya bersangkutan yang tercemar namanya, tetapi seluruh keluarganya bahkan
sukunya. Sanksinya berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/sukunya
atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti upacara adat.
e.
Hukum(laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal,berupa
aturan tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan memiliki sanksi
yang tegas dan memaksa.
C.2. Nilai
Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno.
Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta
etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Filsafat etika adalah salah satu
cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat baik buruk tingkah laku manusia.
Oleh karena itu etika diartikan filsafat tingkah laku atau lebih tepatnya ilmu
yang membahas atau mempelajari perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia
sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika berupa aturan – aturan,
misalnya etika pergaulan yaitu aturan bagaimana bergaul yang baik, kode etik
guru, kode etik dokter, kode etik jaksa, dan lain-lain. Tujuan untuk
mempelajari etika adalah Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian
baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu.
Etika memberi pegangan atau orientasi dalam
menjalani kehidupan di dunia ini. Ini
berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin
dicapainya. Etika ada dua yaitu etika deontologi dan etika teleologi. Etika
deontologi menekankan manusia untuk bertindak secara baiki. Suatu tindakan itu
baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasakan akibat atau tujuan baik pada
dirinya sendiri. Tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakn
berdasarkann kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau
akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan
baik dan watak yang kuat dari pelaku. Kemauan baik harus dinilai baik pada
dirinya sendiri terlepas dari apapun juga.n maka, dalam menilai seluruh
tindakan, kemauan baik harus selalu dinilai9 pertama dan menjadi kondisi dari
segalanya.
Etika
teleologi mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan
dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan nakibat yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang
baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Etika teleologi
lebih situsional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat
tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan kewajiban
moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.
Etika secara umum dapat dibagi
menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral dasar dan etika khusus atau
etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi lagi menjadi
etika individual dan etika sosial. Etika sosial ada enam yaitu sikap terhadap
sesama; etika keluarga; etika profesi misalnya untuk pustakawan; arsiparis;
dokumentalis; pialang; informasi; etika politik; etika lingkungan hidup; dan
kritik ideologi.
C.3. Nilai Moral
Ditinjau
dari sudut etimologis, kata moral berasal dari kata mos, bentuk jamaknya mores
yang berarti adal istiadat atau kebiasaan. Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut
ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Moral
juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dan
lain-lain. Moral merupakan kondisi
pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai
baik dan buruk.
Manusia yang
tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak
memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal
mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal
yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan
proses sosialisasi.
Moral dalam zaman
sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau
sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.
Moral itu
sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia
ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan
bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
ber interaksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai
dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral
yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Setiap budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda sesuai dengan sistem
nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Ciri manusia bermoral atau manusia tidak
bermoral, jika dilihat dari pengertian dan beberapa istilah
terkait pengertian moral ciri orang bermoral dan tidak bermoral adalah jika
seseorang melakukan tindakan sesuai dengan nilai rasa dan budaya yang berlaku
ditengah masyarakat tersebut dan dapat diterima dalam lingkungan kehidupan
sesuai aturan yang berlaku maka orang tersebut dinilai memiliki moral.
Kata moral atau akhlak sering kali digunakan untuk menunjukkan
pada suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya dengan
nilai-nilai kehidupan pada seseorang.
Moral
berkaitan dengan masalah perbuatan manusia, pikiran serta pendirian tentang apa
yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidka patut
untuk dilakukan seseorang. Dikatakan moralnya baik apabila sikap, tingkah laku
dan perbuatannya sesuai dengan pedoman sebagaimana digariskan oleh ajaran
Tuhan. Sanksi moral itu sendiri berupa sanksi dari Tuhan yang ditimpakan kelak
diakhirat, sanksi pada diri sendiri yang bersifat kejiwaan (sedih, resah,
malu,dsb), dan sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat (dicemooh,
dicela, dikucilkan,dsb).
C.3.1. Hubungan antara etika
dengan moral
Etika berupa
aturan-aturan, misalnya etika pergaulan yaitu aturan bagaimana bergaul yang
baik, kode etik guru, kode etik dokter, kode etik jaksa, dsb. Kalau etika
berupa aturannya, maka moral merupakan buah atau hasilnya. Contoh : seseorang
yang selalu mematuhi etika, maka orang tadi dikatakan bermoral, atau moralnya
baiik. Sebaliknya seseorang yang selalu atau sering melanggar etika, dikatakan
moralnya buruk, atau amoral. Jadi antara etika dengan moral hubungannya sangat
erat.
Selain itu jika dilihat dari segi istilah,
moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang
sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’,
maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata
tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau
arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’
adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya
bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa
Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak
bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan
norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan bahwa
pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang tidak baik.
Jadi yang membedakan antara etika dengan moral yaitu
apabila etika yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah pikiran atau akal sedangkan apabila moral yang dijadikan sebagai
tolak ukur untuk mengukur tingkah laku manusia adalah budaya, adat istiadat,
kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya
tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral di pakai untuk
perbuatan yang sedang di nilai, sedangkan etika di pakai untuk system nilai
yang ada.
C.3.2. Hubungan antara etika,
norma dan hukum
Jika kita
membahas tentang norma, etika, dan hukum tentunya kita tidak dapat
melepaskannya dari segi moral. Dari arti kata, etika dapat disamakan dengan
moral. Moral berasal dari bahasa latin mos yang berarti adat kebiasaan.
Beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda tantang hubungan antara moral
dan etika. Menurut Lawrence Konhberg terdapat hubungan antara moral dengan
etika. Menurut Lawrence Konhberg pendidikan moral merupakan dasar dari
pembangunan etika. Pendidikan moral itu sendiri terdiri dari ilmu sosiologi,
budaya, antropologi, psikologi, filsafat,pendidikan, dan ilmu poitik. Pendapat
Lawrence Konhberg berbeda dengan pendapat Sony Keraf. Soni Keraf membedakan
antara moral dengan etika.
Nilai-nilai
moral mengandung nasihat, wejangan, petuah, peraturan, dan perintah turun
temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi
kritis dan rasional mengenai nilai dan norma manusia yang menentukan dan
terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia. Karena etika dan moral saling
mempengaruhi, maka keduanya tentu memiliki hubungan yang erat dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma sebagai bentuk perwujudan dari
etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Norma tersebut dapat
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Meski tiap daerah
memiliki norma yang berbeda-beda namun tujuannya tetap sama yaitu mengatur
kehidupan bermasyarakat agar tercipta suasana yang mendukung dalam hidup bermasyarakat.
Sedangkan hukum
merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat
yang memiliki etika, moral, dan norma-norma didalamnya Hukum berperan sebagai
`penjaga` agar etika, moral, dan norma-norma dalam masyarakat dapat berjalan
dengan baik. Apabila terjadi pelanggaran terhadap etika,moral, dan norma maka
hukum akan berperan sebagai pemberi sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi
sosial sebagai akibat dari pelanggaran norma-norma sosial masyarakat dan sanksi
hukum apabila norma-norma yang dilanggar juga termasuk dalam wilayah peraturan
hukum yang berlaku.
D. PENTINGNYA
MORALITAS DAN PELAKSANAAN HUKUM SERTA HAMBATAN-HAMBATANNYA
D.1. Pentingnya Moralitas
Berbicara
tentang Moralitas, mari kita lihat terlebih dahulu di dalam Kamus Bahasa
Indonesia apa definisi tentang moralitas, Moralitas berarti Budi Pekerti, Sopan
Santun, Adat Kesopanan. Sementara kata Moralitas, berasal dari kata “Moral” dan
moral di dalam kamus didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima
umum mengenai budi pekerti. Moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik
dan buruk (Bertens,2002:7). Jadi, jika kita berbicara tentang ”Moralitas
atau Moral” pasti kita merujuk kepada cara berfikir dan bertindak yang
dilandasi oleh budi pekerti yang luhur. Istilah moral juga biasanya
dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan
perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut
maupun tidak patut. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat,
agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.
Masalah
moral merupakan masalah kemanusiaan, jadi sudah sewajarnya apabila dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masalah moralitas menjadi
masalah penting yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan hubungan
sosialnya dengan masyarakat sekitar yang merupakan realitas kehidupan yang
harus dihadapi. Pada tahap awal pembentukan kepribadian misalnya, seorang bayi
mulai mempelajari pola perilaku yang berlaku dalam masyarakat dengan cara
mengadakan hubungan dengan orang lain. Dalam hal ini pertama-tama dengan orang
tua dan saudara-saudaranya. Lambat laun setelah menjadi anak-anak dia mulai
membedakan dirinya dengan orang lain. Dia mulai menyadari perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak. Bila ia melakukan perbuatan yang benar dia akan disukai
oleh lingkungan dan bila berbuat salah dia akan ditegur. Tahap demi tahap
seorang anak akan mempunyai konsep tentang dirinya, kesadaran itu dapat diamati
dari tingkah laku dalam interaksinya dengan lingkungan. Maka dalam proses
interaksi tersebut diperlukan nilai-nilai moral sebagai petunjuk arah, cara
berfikir, berperasaan dan bertindak serta panduan menentukan pilihan dan juga
sebagai sarana untuk menimbang penilaian masyarakat terhadap sebuah tindakan
yang akan diambil, dan nilai-nilai moralitas juga penting untuk menjaga rasa
solidaritas di kalangan kelompok atau masyarakat serta dapat menjadi benteng
perlindungan atau penjaga stabilitas budaya kelompok atau masyarakat tertentu.
Melihat kondisi penerus bangsa yang saat ini
telah kacau balau. Dimana banyak peristiwa yang menunjukkan sikap tidak
bermoral seperti tindakan pencurian, pemerkosaan, pemerasan dan
perampokan yang hampir setiap hari mewarnai kehidupan di negara kita tercinta
ini. Belum lagi tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini
morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik,
ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang
mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negeri maupun luar
negeri. Faktor-faktor yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak beramoral
adalah:
Faktor pertama, yaitu
pengajaran tentang moral yang terlambat. Pada dasarnya, pendidikan moral harus
diajarkan dan diterapkan mulai usia dini, karena potensi anak-anak yang lebih
mudah mencontoh suatu perilaku baik/buruk dibandingkan pada saat dewasa. Ketika
pendidikan moral dilakukan sejak usia dini, maka pendidikan moral tersebut akan
menjadi kerangka berpikir atau kebiasaan anak tersebut ketika beranjak dewasa.
Faktor kedua, yaitu proses
transformasi pendidikan moral yang tidak diimbangi oleh pendidik yang
bermoralitas. Bagaimana seorang anak atau murid mampu menyerap dengan baik
pendidikan moral yang diajarkan oleh orang tua atau gurunya, jika pendidiknya
sendiri tak mampu menunjukkan perilaku yang bermoral. Ibarat peribahasa, buah
jatuh tak jauh dari pohonnya atau guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Seseorang akan mampu menyerap dengan baik informasi yang diterimanya jika
informasi tersebut berlangsung dikehidupan nyata. Oleh sebab itu mengapa murid
lebih suka melakukan praktek daripada hanya mendengarkan teori-teori saja.
Faktor ketiga, yaitu kesadaran
diri pada manusia itu sendiri. Pada dasarnya orang-orang yang tidak/kurang
bermoral bisa belajar untuk jadi bermoral jika orang tersebut memiliki
keinginan, kemauan, kesadaran dan harapan. Oleh sebab itu tidak ada salahnya,
jika orang tersebut dibekali oleh pendidikan agama (spiritual) dan
contoh-contoh nyata perilaku yang bermoral dari orang-orang disekitarnya.
D.1.1.
Hubungan antara Hukum dan Moralitas
Dalam kehidupan bermasyarakat
tidak akan terlepas dari ikatan nilai-nilai, baik nilai-nilai agama, moral,
hukum, keindahan, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dan moralitas sangat
erat sekali. Tujuan hukum ialah mengatur tata tertib hidup bermasyarakat sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku. Sedangkan moral bertujuan mengatur tingkah
laku manusia sesuai dengan tuntutan nilai-nilai moral yang berlaku di
masyarakat. Hukum berisikan perintah dan larangan agar manusia tidak melanggar
aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Moral menuntut
manusia untuk bertingkah laku baik dan tidak melanggar nilai-nilai etika atau
moral. Berbeda dengan hukum, maka hakikat moralitas pertama-tama terletak dalam
kegiatan batin manusia. Moral berkaitan dengan masalah perbuatan manusia,
pikiran serta pendirian tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai
apa yang patut dan tida patut untuk dilakukan seseorang. Dikatakan moralnya
baik apabila sikap dan perbuatannya sesuai dengan pedoman sebagaimana
digariskan oleh ajaran Tuhan, hukum yang ditetapkan pemerintah serta
kepentingan umum. Pelanggaran terhadap norma hukum sekaligus juga melanggar
norma moral. Karena itu bagi pelanggar norma hukum akan mendapat dua sanksi
sekaligus, yaitu sanksi hukum dan sanksi moral. Sanksi hukum berupa hukuman
sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan sanksi moral berupa: (1) sanksi
dari Tuhan, (2) sanksi pada diri sendiri, dan (3) sanksi yang berasal dari
keluarga atau masyarakat.
D.2. Pelaksanaan Hukum serta Hambatan-Hambatannya.
Hukum
adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat
dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan
tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar
aturan tersebut (Achmad Ali). Hukum yang berlaku bagi suatu negara mencerminkan
perpaduan antara sikap dan pendapat pimpinan pemerintahan negara dan keinginan
masyarakat luas mengenai hukum tersebut.
Letak perbedaan hukum dan moral, yaitu norma-norma moral itu berakar
pada batin manusia, sedangkan peraturan-peraturan hukum itu lain karena hukum
positif mengendalikan kemungkinan paksaan, ialah paksaan yang diatur dalam
negara harus dilaksanakan. Sesuatu itu hanya menurut hukum diwajibkan, karena
hukum mengatakannya, dan hukum itu hanya mengikat karena dibentuk dengan cara
yang ditunjuk oleh Undang-Undang Dasar. Dan UUD itu mengikat karena UUD itu
merupakan kesepakatan seluruh rakyat dalam negara.
Hukum yang berlaku terdiri dari dan
diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling berhubungan, dan oleh karena
itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau tatanan sehingga disebut tata
hukum. Tata hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum Indonesia atau
oleh negara Indonesia. Oleh sebab itu tata hukum Indonesia ada sejak Proklamasi
Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sejak saat
itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan
melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya
yang baru ialah Tata Hukum Indonesia.
Dasar-dasar
dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut:
1.
Dasar Pokok Hukum Nasional RI adalah
Pancasila.
2.
Hukum nasional bersifat: Pengayoman,
Gotong royong, Kekeluargaan, Toleransi, Anti kolonialisme, imperialisme, dan
feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004
Pasal 6, materi muatan peraturan perundanga-undangan mengandung asas:
a.
Pengayoman;
b.
Kemanusiaan;
c.
Kebangsaan;
d.
Kekeluargaan;
e.
Kenusantaraan;
f.
Bhineka Tunggal Ika;
g.
Keadilan;
h.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i.
Ketertiban dan kepastian hukum;
j.
Keseimbangan, keserasian dan
keselarasan.
3.
Semua hukum sebanyak mungkin diberi
bentuk tertulis.
4.
Selain hukum tertulis diakui berlaku
hukum tidak tertulis.
5.
Hakim membimbing perkembangan hukum
tak tertulis melalui yurisprudensi ke arah keseragaman hukum yang
seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem parental.
6.
Hukum tertulis mengenai
bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam bentuk kodifikasi
(Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara
Pidana, Hukum AcaraPeradilan Tata Usaha Negara).
7.
Untuk membangun masyarakat sosialis
Indonesia diusahakan unifikasi hukum.
8.
Dalam perkara pidana:
a.
Hakim berwenang sekaligus memutuskan
aspek perdatanya baik karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang
berkepentingan.
b.
Hakim berwenang mengambil tindakan
yang dipandang patut dan adil di samping atau tanpa pidana.
9.
Sifat pidana harus memberikan
pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang bermanfaat bagi masyarakat.
10. Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya
peradilan berjalan sederhana, cepat, dan murah (Pasal 4 Ayat (2) UU No. 4 Tahun
2004).
11. Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan
yang merupakan jaminan kuat untuk mencegah:
a.
Seseorang tanpa dasar hukum yang
cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang diperlukan.
b.
Penggeledahan, penyitaan, pembukaan
surat-surat dilakukan sewenang-wenang.
Hukum di
Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Konsentris, artinya adanya satu
tangan yang mengatur/membuat (yaitu pengundang-undang).
2.
Konvergen, artinya hukum Indonesia
bersifat terbuka terhadap perubahan dan perkembangan.
3.
Tertulis, untuk lebih menjamin
kepastian hukum.
D.2.1. Pelaksana Hukum.
Pelaksana atau penegak hukum dalam tatanan hukum di Indonesia
terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Kendati, dalam ketentuan
perundangan lembaga-lembaga ini terpisah, namun masih memiliki jalur koordinasi
keatasnya, hingga ke presiden. Lembaga-lembaga tersebut tidak ada yang bebas
dan independen, karena garis koordinasi bersifat vertikal bertanggung jawab
kepada kepala negara.
1.
Kepolisian.
Tugas
Kepolisian menurut UU Kepolisian Bab III Pasal 13 yaitu:
a.
Selaku
alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum.
b.
Melaksanakan
tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan
kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.
c.
Bersama-sama
dengan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya membina
ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
d.
Membimbing
masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c.
Kendati jajaran kepolisian kian
berbenah dengan semboyan profesionalisme dan melayani kepentingan masyarakat,
namun dalam prakteknya kerap terjadi distorsi kebijakan. Masyarakat sering
mempertanyakan eksistensi pihak kepolisian ini.
Pertama mengenai aspek kemaksimalan
tugas, Kedua Sensitifitas problema/kriminalitas masyarakat, Ketiga, Kejujuran
dan Kenetralan Tugas. Badan (lembaga) yang seharusnya menjadi pengayom
masyarakat ternyata sekarang menjadi lembaga angker dan menakutkan.
2.
Kejaksaan.
Tugas kejaksaan menurut Keputusan
Presiden RI No. 86 Tahun 1999 pada Bab I Pasal 2, yaitu: “Kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan
serta turut menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan
di bidang hukum”.
Lembaga ini memiliki banyak masalah
yang juga meresahkan masyarakat. Jaksa selaku Penuntut Umum telah juga ternoda,
karena ulah sebagian oknum jaksa nakal dan silau dengan materi. Kenakalan jaksa
tidak hanya dalam kasus-kasus yang telah dilimpahkan di Pengadilan. Namun,
kenakalan itu juga di luar Pengadilan. Misalnya, kasus-kasus yang masih dalam
tahap penyelidikan/penyidikan. Di tingkat penyelidikan atau penyidikan kerap
terjadi penyalah-gunaan wewenang. Tertuduh/tersangka atau keluarganya
bisa saja melobi jaksa yang menyelidik/menyidik kasusnya meminta kasusnya
di-peti es-kan atau istilah formalnya SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyelidikan).
3.
Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dapat dilihat dalam UU Tentang Kekuasaan Kehakiman
Bab III Pasal 19. Sedangkan tugas pokok
hakim yaitu: “Menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan)”.
Departemen kehakiman hingga kini
belum mampu memberantas kenakalan para hakim di seluruh negeri ini. Betapa
tidak, sebenarnya munculnya cibiran tentang mafia peradilan lebih ditujukan
kepada para hakim. Kita tahu, wajah hukum negeri ini telah dicoreng dengan
banyaknya kasus-kasus yang terjadi karena praktik vonis yang tanpa dasar atau cenderung
menurut selera para hakim. Dari hari ke hari, Lembaga ini kerap ditunding
melahirkan hakim nakal. Putusan-putusan hakim sering mengusik hati nurani dan
rasa keadilan masyarakat. Kita tentu masih ingat misalnya Tommi Suharto yang
seabrek-abrek kejahatannya, divonis hanya 15 tahun penjara. Anehnya, beberapa
hari mendekam dipenjara, tanpa dasar dan alasan yang rasional ia
mendapatkan keringanan masa tahanan (remisi). Dan masih banyak lagi kasus-kasus
kelas kakap yang belum dapat dituntaskan pihak Kejaksaan. Sebenarnya,
praktik mafia peradilan tidak hanya ditujukan kepada dua lembaga tersebut, tapi
juga dengan pengacara. Sekarang ini, tugas pengacara banyak mengalami perubahan
fungsi. Semula mendampingi klien dan membelanya, baik di dalam maupun di luar
Pengadilan (litigasi dan non litigasi). Kini, sudah bergeser menjadi calo
perkara dan pelobi atau makelar kasus. Meski tidak semua, namun kebanyakan
pengacara menangani perkara karena pertimbangan financial, sekalipun mereka
harus mematikan hati nurani. Ukuran keberhasilan (menang) suatu kasus bukan
karena kemampuan analisis cerdas pengacara dalam mengotopsi dan menggali dasar
hukum kasus yang sedang ditangani, melainkan berdasarkan kalkulasi seberapa
banyak uang klien yang akan disuguhi kepada hakim yang menangani suatu kasus.
D.2.2. Hambatan-hambatan Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah
merupakan suatu kewajiban yang mutlak harus diadakan dalam negara hukum yang
berdasarkan Pancasila. Kewajiban tersebut bukan hanya dibebankan pada petugas
resmi yang telah ditunjuk dan diangkat oleh Pemerintah akan tetapi adalah juga
merupakan kewajiban dari pada seluruh warga masyarakat. Bukan merupakan rahasia
umum lagi bahwa kadang-kadang terdapat noda hitam dalam praktek penegakan hukum
yang perlu untuk dibersihkan sehingga hukum dan keadilan benar-benar dapat
ditegakkan. Sebagai salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyelesaian berbagai permasalahan
hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui tidak dapat dilakukan
dalam waktu singkat. Hambatan-hambatan yang dihadapi antara lain:
1. Kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi
pembentukan perundang-undangan dalam mematuhi Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) dan lemahnya koordinasi antarinstansi/lembaga dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan karena masing-masing mempunyai
kepentingan (ego sektoral). Akibatnya, ketidakpastian dan penegakan peraturan
perundang-undangan lebih mengemuka dan pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan
karena sangat bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan
ketenteraman.
2. Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum
yang lain juga masih belum memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Dapat
dilihat dari banyaknya kasus yang diputuskan oleh pengadilan yang bersifat
kontroversial, yang bertentangan dengan moral dan rasa keadilan masyarakat.
3. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap
perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara
(transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk
uang dari hasil korupsi.
4. Kurangnya tenaga perancang peraturan
perundang-undangan (legal drafter)
yang berkualitas sehingga sering menimbulkan multiinterpretasi dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan, baik di pusat maupun di daerah.
5. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman
terhadap pelindungan dan penghormatan HAM masih belum memberikan dampak yang
menggembirakan dalam masyarakat. Merupakan suatu kenyataan bahwa kegiatan
penyuluhan hukum dan pemahaman terhadap nilai-nilai HAM belum memengaruhi
perilaku setiap anggota masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
6. Rendahnya moral penegak hukum dan masyarakat di
Indonesia. Menimbulkan berbagai kasus dalam hukum seperti korupsi, mafia hukum,
dan mafia pajak dimana kasus-kasus ini menyeret para pejabat tinggi di
pengadilan.
D.2.3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh Pemerintah untuk
melakukan pembenahan sistem dan politik hukum, di antaranya adalah (1)
pengubahan serta penetapan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan
aspirasi, keperluan, dan perkembangan dalam masyarakat, tidak diskriminasi,
serta mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender; (2) pemberdayaan lembaga
peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain; (3) peningkatan kemampuan
profesional aparat hukum; (4) serta peningkatan kesadaran hukum dan HAM. Namun,
hasil-hasil pembenahan sistem dan politik hukum yang telah dicapai masih belum
menunjukkan kinerja yang memuaskan. Untuk mendorong kinerja pembangunan,
pembenahan sistem dan politik hukum diperlukan tindakan sebagai berikut.
Dalam rangka Perencanaan Hukum dan
Pembentukan Hukum, hal yang penting untuk dilakukan adalah membangun komitmen di antara
lembaga pembentuk hukum untuk mematuhi kesepakatan di dalam Prolegnas. Peran Prolegnas cukup penting dalam rangka menciptakan
koordinasi yang baik antara departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen dan
Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rangka pembentukan
undang-undang. Selain itu, perlu dirumuskan dan disusun mekanisme yang lebih
kuat dalam rangka pembentukan undang-undang antara DPR dan Pemerintah sehingga
dapat disusun penentuan kriteria yang jelas dalam menetapkan prioritas RUU yang
akan dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah serta menjadi jaminan bahwa RUU
yang disepakati antara DPR dan Pemerintah tersebut akan benar-benar dijalankan.
Di samping itu, upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan terus-menerus
dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 dengan tujuan untuk menciptakan
keserasian, harmoni, dan tidak tumpang tindih antara peraturan yang satu dan
peraturan yang lain yang juga harus diikuti dengan peningkatan kualitas tenaga
perancang peraturan perundang-undangan.
Tersedianya peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat
merupakan landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Diharapkan dengan adanya kebijakan satu pintu dari amanat
undang-undang tersebut, produk perundang-undangan yang akan dihasilkan tersebut
benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat, menjamin kepastian hukum,
mampu memberi dukungan terhadap proses pemulihan ekonomi, sosial, politik, dan
keamanan, memberi pelindungan dan penghormatan terhadap HAM, tidak
diskriminatif, dan memberikan pelindungan terhadap hak perempuan dan anak.
Upaya pemberdayaan lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum yang lain dalam
rangka penegakan supremasi hukum tidak akan tercapai tanpa didukung oleh
lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain. Oleh karena itu,
diperlukan serangkaian langkah untuk meningkatkan peran lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum yang lain. Fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan
dan perilaku hakim terus menerus ditingkatkan melalui pemberdayaan lembaga
pengawasan yang telah ada terutama di lingkungan internal dalam rangka
meningkatkan fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan kinerjanya
ataupun lembaga yang sedang dalam proses pembentukan, antara lain dengan
pembentukan Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Hakim. Demikian pula, di dalam
upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, berbagai upaya telah dilakukan
antara lain penguatan terhadap peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Sementara itu, koordinasi antarlembaga yang
tugas dan fungsinya melakukan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan sehingga
proses hukum penanganan perkara korupsi mulai dari tingkat penyidikan sampai
dengan penuntutan dapat dipercepat dan diselesaikan sampai kepada tindakan
secara hukum.
Untuk mendorong kinerja penegakan
hukum, pada tanggal 2 Mei 2005 telah diterbitkan Keputusan Presiden No.
11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim
Tastipikor). Keanggotaan tim tersebut meliputi unsur Kejaksaan RI, Kepolisian
RI, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tujuan dibentuknya
Tim Tastipikor itu adalah untuk meningkatkan koordinasi dalam rangka
mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan masa kerja selama dua
tahun. Untuk meningkatkan kualitas para penegak hukum, upaya pembekalan
kemampuan teknis terus menerus dilakukan bagi aparat penegak hukum, termasuk
para hakim, dengan tujuan agar para penegak hukum dan para hakim senantiasa
mampu mengikuti perubahan keadaan model tindak pidana. Persoalan penting yang
lain adalah kurangnya integritas para penegak hukum dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya. Berkaitan dengan itu, modifikasi model perekrutan para penegak
hukum dengan mempertimbangkan perlunya mengakomodasi pengujian terhadap
integritas calon penegak hukum dan calon hakim diharapkan mampu memberikan
jawaban atas kurangnya integritas para penegak hukum pada saat ini.
Upaya lain adalah dengan meningkatkan kualitas putusan pengadilan,
putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak diskriminatif dari
pengadilan tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi serta putusan Mahkamah
Konstitusi, dengan didukung oleh pembangunan sistem informasi agar dapat secara
mudah diakses oleh masyarakat sebagai bentuk transparansi dan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung kemampuan dan
keterampilan teknis yudisial aparat penegak hukum, pendidikan dan pelatihan
dilaksanakan dengan menekankan pada kemampuan, akhlak dan budi pekerti sebagai
standar penilaian untuk menjadi aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi
nilai kejujuran dan tidak menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas
sebagai aparat penegak hukum. Demikian pula, peningkatan dalam pendidikan dan
pelatihan bagi aparatur hukum, terutama para penegak hukum, dalam mengantisipasi
kejahatan canggih yang berkaitan dengan penghapusan bukti dalam perkara korupsi
terus dilakukan kerja sama dan koordinasi dengan negara-negara lain. Di samping
itu, terus menerus diupayakan untuk membuat perjanjian kerja sama dengan
berbagai negara lain yang diduga sebagai tempat persembunyian atau pelarian
bagi para koruptor sehingga dapat dilakukan pengembalian kerugian negara akibat
korupsi.
Untuk mewujudkan masyarakat yang
berorientasi pada hukum, dilakukan kegiatan penyuluhan hukum dan HAM dengan
metode komunikasi interpersonal, media cetak, dan media elektronik. Penyuluhan
hukum dan HAM melalui komunikasi interpersonal dilakukan, antara lain, melalui
kegiatan tatap muka dan bersifat dialogis. Sementara itu, kegiatan yang
dilakukan melalui media cetak, antara lain, melalui penyebaran pamflet
penyuluhan hukum dan HAM, dan pemasangan berbagai spanduk pada tempat-tempat
yang strategis. Selanjutnya melalui media elektronik dilakukan kegiatan
penyuluhan hukum dan HAM, antara lain, dalam bentuk penyiaran sandiwara radio
dan televisi. Hal itu, antara lain, terlihat dalam kegiatan lembaga Ombudsman
Nasional secara berkala di televisi dan kegiatan kepolisian melalui kegiatan
”Halo Polisi”.
Dalam praktek ketatanegaraan
Indonesia dewasa ini, apalagi konteks pengambilan keputusan hukum membutuhkan
moral, sebagaimana moral memerlukan hukum. Apa artinya hukum jika tidak
disertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas,
hukum tampak kosong dan hampa.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nilai moral dan hukum mempunyai
keterkaitan yang sangat erat sekali. Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum
mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan
demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan
moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga,
dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”.
Nilai-nilai
moral mengandung nasihat, wejangan, petuah, peraturan, dan perintah turun
temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi
kritis dan rasional mengenai nilai dan norma manusia yang menentukan dan
terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia. Karena etika dan moral saling
mempengaruhi, maka keduanya tentu memiliki hubungan yang erat dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma sebagai bentuk perwujudan dari
etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum
di Indonesia antara lain: Kurang
optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan dalam
mematuhi Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Lemahnya koordinasi
antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan,
Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang masih belum memperlihatkan kinerja yang
menggembirakan. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap
perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara
(transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk
uang dari hasil korupsi. Kurangnya tenaga perancang peraturan
perundang-undangan (legal drafter)
yang berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman terhadap
pelindungan dan penghormatan HAM masih belum memberikan dampak yang
menggembirakan dalam masyarakat. Rendahnya moral penegak hukum di Indonesia.
B.
Saran
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia
dewasa ini, telah banyak orang-orang intelektual seperti para pejabat tinggi
Indonesia saat ini. Namun ketika intelektual tersebut tidak diimbangi dengan
moralitas maka yang terjadi adalah banyaknya kasus-kasus beramoral seperti
korupsi yang menyeret mereka ke dalam pengadilan. Oleh sebab itu, kita sebagai
penerus muda yang akan menggantikan posisi pejabat tinggi Indonesia saat ini,
sebaiknya mulai berbenah diri, tidak hanya menuntut ilmu saja, namun juga harus
diimbangi dengan pendidikan moral agar kelak kita bisa menjadi pemimpin negara
yang bermoral. Karena apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum
dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak
pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan
hampa.
EVALUASI
1.
Sebutkan sikap mental negatif yang dapat
menghambat pembangunan nasional?
2.
Sebutkan jenis-jenis norma dalam
kehidupan bermasyarakat?
3.
Apa perbedaan antara etika dengan moral?
4.
Bagaimana hubungan moralitas dengan
hukum?
5.
Sebutkan tiga hambatan penegakan hukum di
Indonesia saat ini?
KUNCI JAWABAN
1.
Sikap mental
negatif yang dapat menghambat pembangunan nasional antara lain :
·
Sifat mentalitas yang meremehkan
mutu.
·
Sifat mentalitas yang suka
menerabas
·
Sifat tak percaya diri sendiri.
·
Sifat tak berdisiplin murni.
·
Sifat mentalitas yang suka mengabaikan
tanggung jawab yang kokoh.
2. Dalam
kehidupan masyarakat wujud norma dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu:
·
Norma Agama
·
Norma Kesusilaan
·
Norma Kesopanan
·
Norma Hukum
3. Perbedaan
antara etika dan moral, yaitu:
·
Etika yang dijadikan
sebagai tolak ukur untuk mengukur tingkah laku manusia adalah pikiran atau akal sedangkan apabila moral yang
dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengukur tingkah laku manusia adalah budaya,
adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
·
Etika berupa aturan-aturan
(sistem nilai), jika moral merupakan buah atau hasilnya (perbuatan yang sedang
dinilai).
4.
Hubungan
moralitas dengan hukum adalah jika hukum berisikan perintah dan larangan agar
manusia tidak melanggar aturan-aturan hukum baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Maka moral menuntut manusia untuk bertingkah laku baik dan tidak
melanggar nilai-nilai etika atau moral. Moral yang baik apabila sikap dan
perbuatannya sesuai dengan pedoman sebagaimana digariskan oleh ajaran Tuhan,
hukum yang ditetapkan pemerintah serta kepentingan umum sehingga pelanggaran
terhadap norma hukum sekaligus juga melanggar norma moral. hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum
dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak
pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan
hampa.
5.
Tiga hambatan pelaksanaan hukum di Indonesia yaitu:
· Kurang optimalnya komitmen para
pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan dalam mematuhi Program Legislasi
Nasional (Prolegnas).
· Kinerja lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum yang lain juga masih belum memperlihatkan kinerja yang
menggembirakan.
· Rendahnya moral penegak hukum dan
masyarakat di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Kartohadiprodjo,
Sudiman. 1977. Pengantar Tata Hukum Di Indonesia.
Tim
ISBD Unesa. 2008. Ilmu Sosial Budaya
Dasar. Surabaya: UNESA University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar